Apa itu Cyber Bullying ?
Sebelum
masuk dipokok pembahasan baiknya kita
mengetahui seperti apa itu Cyberbullying. Istilah cyberbullying dikenalkan oleh Bill Belsey dari Kanada, dan istilah
ini berkembang begitu cepat. Cyberbullying merupakan
salah satu jenis bullying.
Intimidasi dalam dunia cyber meliputi
bentuk agresi dalam hubungan dan segala bentuk-bentuk ancaman elektronik, dan
ini terjadi di mana-mana (Parsons, 2005).
Cyberbullying merupakan sebuah fenomena baru dari perkembangan teknologi komunikasi.
Pada kondisi sekarang, hal tersebut didefinisikan sebagai sebuah perbuatan
menyakiti yang disengaja dan diulang-ulang melalui penggunaan komputer, telepon
selular dan peralatan elektronik lainnya yang dilakukan oleh sekelompok orang
atau individu diman seseorang yang menjadi korban tidak bisa membela dirinya
sendiri. Tujuannya adalah untuk mempermalukan, mengolok-olok,
mengancam,mengintimidasi dalam rangka menegaskan kekuasaan dan kontrol atas
korban tersebut.
Jenis Cyberbullying
1.
Flaming (terbakar): yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya
merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah “flame” ini pun
merujuk pada kata-kata di pesan yang berapi-api.
2.
Harassment (gangguan): pesan-pesan yang berisi gangguan pada email,
sms, maupun pesan teks di jejaring sosial dilakukan secara terus menerus
3.
Denigration (pencemaran nama baik): yaitu proses mengumbar keburukan
seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang
tersebut.
4.
Impersonation (peniruan): berpura-pura menjadi orang lain dan
mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik.
5.
Outing: menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi
orang lain.
6.
Trickery (tipu daya): membujuk seseorang dengan tipu daya agar
mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut.
7.
Exclusion (pengeluaran) : secara sengaja dan kejam mengeluarkan
seseorang dari grup online.
8.
Cyberstalking: mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara
intens sehingga membuat ketakutan besar pada orang tersebut.
Lalu apa kaitan antara cyberbullying dengan twitter ?
Sekarang
ini ada banyak akun frontal yang sering dijumpai dalam timeline twitter memakai
akun pribadi maupun akun khusus yang dibuat untuk meluapkan emosi dari candaan
dan guyonan. Kecenderungan orang bercanda atau menggunakan guyonan untuk
mengolok-olok orang lain di Timeline twitter semakin marak dijumpa, dan kadang kita susah membedakan mana yang membully
mana candaan biasa yang meskipun
keterlaluan buat yang di ejek tetapi yang ngejek pun bisa dengan santai bilang
“ya kaya gitu itu cuma bercanda”.
Banyak orang memaknai secara salah kaprah mengenai cyberbullying, salah satu contoh adalah ketika sebuah opini yang dilontarkan oleh
seseorang di twitter dimaknai berbeda oleh orang lain dan tentu saja hal ini
akan memunculkan argumen dari orang lain, namun manakala perdebatan itu semakin
panas, dan pihak pelontar tidak bisa memberikan jawaban atau argumen balik dan
ia merasa ia telah di’serang’ atau di’aniaya’ sehingga makian, ungkapan
ketidaksukaan yang bertebaran di twitter kerapkali dimaknai sebagai bullying
dan memunculkan konsekuensi emosional
dan psikologis terhadap para korban. Konsekuensi yang tidak bisa dirasakan oleh
pelaku karena umumnya mereka kehilangan apa yang disebut empathy. Umumnya para
korban merasa dendam, marah dan tidak berdaya sehinggga memicu munculnya
tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan si korban
seperti, balas dendam, pembunuhan, dan bunuh diri.
Pada
dasarnya teknologi komunikasi akan membawa kita pada dua sisi, baik dan buruk.
Namun manusialah yang memegang kunci pengendaliannya. Yang perlu digaris
bawahi adalah bahwa kita harus bertanggung jawab terhadap apapun yang kita
katakan di dunia maya, baik itu melalui twitter, facebook, blog atau media
sosial lainnya. Opini atau gagasan yang kita lontarkan, hendaknya dapat
dipertanggungjawabkan. Kita tidak tahu apakah kalimat-kalimat yang kita
lontarkan membawa stimuli negatif atau positif bagi pihak lain. Ada banyak pemaknaan
dan intepretasi terhadap sebuah teks yang belum tentu sama antara satu orang
dengan orang lainnya. Jangan sampai kita malah membuka peluang untuk terjadinya
stimulus negatif terhadap orang lain.
Memang,
dengan sifatnya yang interaktif, twitter mempunyai keuntungan tersendiri bagi
para penggunanya untuk melakukan klarifikasi dan konfirmitas terhadap sebuah
pesan atau informasi, sehingga cyberbullying bisa diminimalisir. Namun jangan
salah, Cyberbullying ini dampaknya terkadang lebih hebat daripada
bully dengan kekerasan fisik. Alasannya ? Kalau ledekan itu terjadinya di
twitter, tentu akan terbaca oleh semua orang yang berteman dengan atau mengenal
korban, kemudian menyebar tanpa terkendali. Korban pun akan merasakan
akibatnya, baik di online maupun offline. Istilahnya, malunya dua kali. Apalagi
semua yang tertulis di internet akan tersimpan selamanya.
Salah
satu contoh kasus cyberbullying adalah yang dialami Megan pada 2006 lalu di
St.Louis, AS. Gadis berusia 13 tahun ini mengakhiri hidupnya dengan cara
gantung diri, setelah menjadi korban olok-olok via internet yang
dilakukan oleh temannya.
Ya, kita
sering meremehkan bully, menganggap ini hanya bercanda, tanpa menyadari
akibatnya berupa kematian teman yang kita bully karena tersiksa secara psikologis.
Atau seseorang yang menjadi korban ancaman pihak tertentu karena sosoknya
dibenci oleh banyak orang, di mana kebenciannya disebar melalui social media.
Pada saat kita membully karena sikapnya yang buruk mungkin bahan bully-an itu
jadi guilty pleasure bagi kita, tetapi pada saat nyawanya terancam, apakah kita
masih menganggap itu bercanda?
Begitu
terbuka dan demokratisnya social media, terkadang kita jadi egois karena merasa
di social media bebas berpendapat. Merasa dapat mengungkapkan segala yang ingin
kita ucapkan melalui tulisan, gambar, atau video, tanpa memperhatikan akibat
panjangnya, dan lupa bahwa kita memiliki follower yang mungkin mudah
terpengaruh tindakan kita. Kebaikan memang cepat tersebar di social media,
tetapi kebencian atau keburukan di socmed juga tak kalah cepat mempengaruhi
yang lain.
Kalau tujuan kita mengkritik orang lain, mungkin lebih baik
kita kritik langsung ke pihak yang bersangkutan untuk perbaikan tanpa nada
membully atau kata-kata yang kasar dan mempermalukan, ya. Siapa tahu suatu saat
kita berbuat kesalahan, orang lain akan mengkritik kita untuk kebaikan, bukan
dengan cara membully kita. Saya pun pernah mengalami, dan juga mungkin menjadi
pelaku. Yuk belajar untuk tidak terbiasa mem-bully. Di social media memang tidak
ada etika tertulis, tetapi mari kita mulai belajar menabung kebaikan di social
media, niscaya kebaikan berbalik pada kita.